PENGERAHAN
DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Dan DRAMA
AKHIR SANG TIRANI
OLEH :
1. BQ. AYU PRAWITA DEWI
2. DESMI ANGGUN
3. HESTI HASTUTI
4. ELINA PUTRI
5. RIFKI
6. L. PEBRIAN
KELAS : XI. MIPA.5
SMA NEGERI 2 PRAYA
2020
PENGERAHAN
DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Dan DRAMA
AKHIR SANG TIRANI
PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS
PERLAWANAN
1. Ekonomi
Perang
Selama masa pendudukan Jepang di
Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi
di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Dalam bidang ekonomi,
Indonesia sangat menarik bagi Jepang Kekayaan Indonesia sangat cocok untuk
kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan
produk-produk industrinya. pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar
menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian
menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju
kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil
menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang
sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk
mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di
Indonesia. Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi,
maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh Jepang dan di bawah
pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan
untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan
diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang
dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk keperluan biaya perang.
Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta
Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya. Akibat kebijakan
Jepang ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia terus merosot. Dengan
diterapkannya kebijakan ekonomi perang itu, ekonomi uang yang pernah
dikembangkan masa pemerintahan Hindia Belanda tidak begitu populer. Bahkan
bank-bank yang pernah dikembangkan pemerintah Hindia Belanda dilikuidasi. Semua
aset bank disita. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu
banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban
bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang
berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk
seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga
dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di
Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East
diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo. Fungsi dan tugas bank-bank yang
dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti
Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya
dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di
Pulau Jawa, Javache Bank dilikuidasi dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang
melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money
yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh
gulden.Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.
2. Pengendalian
di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi
kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah
sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun
dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet.
Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan
merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara
signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran
bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa
pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami
kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan
pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan
pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang
harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan
bangku sekolah. Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan
untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kaderkader yang
memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah
selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.
3. Pengerahan
Romusa
Untuk menopang Perang Asia Timur
Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah
yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan
terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya,
lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat
penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana
propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa.
Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap
daerah. Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga
kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela,
sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab,
rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela
membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh karena itu, di beberapa kota
pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara dan sukarela. Romusa
sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu
minggu di suatu tempat yang penting. Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu
diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal perikemanusiaan. Mereka
dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang
cukup mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak
terurus mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan. Untuk menutupi kekejamannya
dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan
kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai
romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi
romusa itu sebagai “Pejuang Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu
diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk
memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar
300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri
seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka
ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi
kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
4. Perang
Melawan Sang Tirani
a. Aceh Angkat
Senjata
Perlawananan rakyat yang terjadi di
Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Karena melihat kekejaman
dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka
rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot
Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan
Jepang. Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para
santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap
sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha
membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan
damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 November
1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng. Kemudian,
pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942, Jepang membakar
masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam pertempuran
ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka, sedangkan
Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Kebencian rakyat Aceh terhadap Jepang
semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan
perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai
tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul
Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid.
Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya
perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan
oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusa. Di samping itu,
Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat
digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu
sangat merugikan rakyat.
b. Perlawanan
Singaparna
Perlawanan ini meletus pada bulan
Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan
di Sukamanah sekaligus pendiri Pesantren Sukamanah. Zainal Mustafa secara
diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan
Najminudin. Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat
di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu dimulai, ada beberapa utusan dari
kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan
perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya
dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada seorang polisi yang
disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi dan
menyampaikan ultimatum dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok
segera memerdekakan Jawa dan jika tidak, maka akan terjadi
pertempuran yang akan mengancam keselamatan orangorang Jepang. Para utusan
Jepang bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut
Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan
ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan
diri. Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang
terdiri dari 30 orang kempetai dan 60 orang polisi negara istimewa (tokubetsu
keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam
di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan
bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan
pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang.
Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih
lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam
pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa
ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa
bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944,
mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan
akhirnya meninggal.
c. Perlawanan
di Indramayu
Perlawanan rakyat Indramayu antara
lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944.
Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet,
Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas
dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat
yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah
itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil
panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat
protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada
mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang
dilancarkan oleh rakyat.
d. Rakyat
Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan di Kalimantan adalah
perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin
Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau
suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya. Pang Suma dan pengikutnya
melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Walaupun
hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan
memanfaatkan keuntungan alam namun di kalangan penduduk juga
berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia
sendiri. Matamata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia
dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin
Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan.
e. Perlawanan
Rakyat Irian Barat
Pada masa pendudukan Jepang,
penderitaan juga dialami oleh rakyat di Irian Barat. Mereka mendapat pukulan
dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan.Mereka melakukan taktik
perang gerilya. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang
Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat
dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di
Indonesia. Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai
daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan
di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat
lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang
bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan
bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan
untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat
Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.
f. Peta di Blitar
Angkat Senjata
Sebagai komandan Peta, Supriyadi
cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan
Jepang. Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di
Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Perlawanan peta
melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain. Pada tanggal 29 Februari 1945
dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan
tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan
bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan
itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan
Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Tentara
Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota Blitar mulai dapat dikuasai.
Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel
Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian
bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh
kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa
membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan
persetujuan dengan mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia
kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa
segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco
Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan
pengadila militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira
pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan.
Sejenak kemudian Shodanco Muradi lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa
pasukannya telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan
melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak
menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap
pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan
ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar. Ternyata Muradi yang sudah
menyerah tetap diadili dan dijatuhi hukuman mati.
D.DRAMA
AKHIR SANG TIRANI
1. Akibat Pendudukan Jepang di Indonesia
Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So, kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.
Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatra berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).
Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti Gerakan Tiga A dan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.
b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.
Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang jumlahnya semakin meningkat. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.
Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.
Sementara itu, proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.
c. Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinasasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.
Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan Seinendan dan Keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam Seinendan mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.
d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar keresidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi di bawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada masa pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi- in yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volksraad. Dalam Volksraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara Chou Sangi In tidak dapat melakukan hal itu.
Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang yaitu rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Janji Kemerdekaan
Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.
Sementara itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So, kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.
Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatra berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).
Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti Gerakan Tiga A dan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.
b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.
Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang jumlahnya semakin meningkat. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.
Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.
Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.
Sementara itu, proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.
c. Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinasasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.
Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan Seinendan dan Keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam Seinendan mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.
d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar keresidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi di bawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada masa pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi- in yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volksraad. Dalam Volksraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara Chou Sangi In tidak dapat melakukan hal itu.
Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang yaitu rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Janji Kemerdekaan
Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.
Sementara itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.
Selanjutnya, Letnan Jenderal Kumakici Harada
mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan itu dibentuk untuk menyelidiki dan
mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik, dan tatanan
pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu diketuai oleh
dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P Suroso sebagai wakil ketua merangkap
kepala Tata Usaha dan seorang Jepang sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda
Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari
60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak
punya suara.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila. Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.
Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila.
Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi bagi Indonesia Merdeka.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila. Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.
Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila.
Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi bagi Indonesia Merdeka.
PIAGAM JAKARTA
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. (menurut) dasar
kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan
Indonesia.
4. (dan) kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. (serta dengan
mewujudkan suatu ) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
BPUPKI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya
selesai. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada 7 Agustus 1945. Badan itu beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12
orang wakil dari Jawa, tiga orang wakil dari Sumatra, dan dua orang dari
Sulawesi dan masing-masing satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan
golongan penduduk Cina, ditambah enam orang tanpa izin dari pihak Jepang.
Panitia inilah yang kemudian mengesahkan Piagam Jakarta sebagai pendahuluan
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.
KESIMPULAN
1. Kedatangan
Jepang yang dianggap sebagai Saudara Tua pada mulanya disambut dengan penuh
harapan. Namun, perlakuan yang kejam terhadap rakyat Indonesia menimbulkan
kebencian rakyat Indonesia pada Jepang.
2. Dampak
pendudukan Jepang di Indonesia menjadikan rakyat semakin sengsara, serta
kehidupan yang semakin sulit. Semua gerak dikontrol oleh pemerintah Jepang.
Selama itu pula, Jepang menerapkan kebijakan ekonomi berdasarkan azas ekonomi
perang, yaitu menerapkan berbagai peraturan, pembatasan, dan penguasaan produksi
oleh negara untuk kemenangan perang.
3. Mobilisasi massa
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, bahkan korban jiwa, yaitu romusa yang
kemudian oleh pemerintah Jepang disebut sebagai prajurit pekerja.
4. Pada masa
pendudukan Jepang, pembentukan organisasi massa dilakukan atas mobilisasi
pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian pergerakan terus dilakukan oleh
kaum nasionalis baik secara terang-terangan maupun di bawah tanah.
5. Program militer
pertama Jepang adalah Heiho, yaitu perekrutan serdadu pembantu lapangan, yang
melibatkan pemuda-pemuda Indonesia dalam kegiatan militer. Keikutsertaan dalam
pendidikan militer itu yang kemudian menjadi bekal pemuda-pemuda Indonesia
dalam perang revolusi kemerdekaan.
6. Dasar negara
dibentuk melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia dan
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar