_kP89Mh0nklE4uIBzHyZTc8CjuSbJfbn2drnrosM_EA" /> nafisa computer: PENYERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWAN SERTA DRAMA AKHIR SANG TIRANI

Rabu, 15 Januari 2020

PENYERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWAN SERTA DRAMA AKHIR SANG TIRANI



PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Dan DRAMA AKHIR SANG TIRANI






OLEH :
1.   BQ. AYU PRAWITA DEWI
2.   DESMI ANGGUN
3.   HESTI HASTUTI
4.   ELINA PUTRI
5.   RIFKI
6.   L. PEBRIAN


KELAS : XI. MIPA.5




SMA NEGERI 2 PRAYA
2020



PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN
Dan DRAMA AKHIR SANG TIRANI

PENGERAHAN DAN PENINDASAN VERSUS PERLAWANAN

1.      Ekonomi Perang
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sangat menarik bagi Jepang Kekayaan Indonesia sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia.  Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi, maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh Jepang dan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya. Akibat kebijakan Jepang ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia terus merosot. Dengan diterapkannya kebijakan ekonomi perang itu, ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Hindia Belanda tidak begitu populer. Bahkan bank-bank yang pernah dikembangkan pemerintah Hindia Belanda dilikuidasi. Semua aset bank disita. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo. Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, Javache Bank dilikuidasi dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden.Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.

2.      Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah. kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah. Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kaderkader yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.

3.      Pengerahan Romusa
Untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah. Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh karena itu, di beberapa kota pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara dan sukarela. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting. Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal perikemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan. Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Pejuang Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.

4.      Perang Melawan Sang Tirani
a.       Aceh Angkat Senjata
Perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil.  Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang. Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng. Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942, Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Kebencian rakyat Aceh terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusa. Di samping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu sangat merugikan rakyat.

b.      Perlawanan Singaparna
Perlawanan ini meletus pada bulan Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan di Sukamanah sekaligus pendiri Pesantren Sukamanah. Zainal Mustafa secara diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan Najminudin. Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu dimulai, ada beberapa utusan dari kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada seorang polisi yang disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi dan menyampaikan ultimatum dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok segera memerdekakan Jawa dan jika tidak,  maka akan terjadi pertempuran yang akan mengancam keselamatan orangorang Jepang. Para utusan Jepang bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri. Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60 orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.
c.       Perlawanan di Indramayu
Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat.
d.      Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya. Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Walaupun hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam  namun di kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Matamata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan.
e.       Perlawanan Rakyat Irian Barat
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Irian Barat. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan.Mereka melakukan taktik perang gerilya. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia. Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.

f.       Peta di Blitar Angkat Senjata
Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Perlawanan peta melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain. Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Tentara Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota Blitar mulai dapat dikuasai. Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan pengadila militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan. Sejenak kemudian Shodanco Muradi lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar. Ternyata Muradi yang sudah menyerah tetap diadili dan dijatuhi hukuman mati.













D.DRAMA AKHIR SANG TIRANI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJc6l0YeVb-5pOirst4IR_TD_Q646GPM76RxvOYhqYkf6Tz2sLnAwqDAIm6tbV5SZ1VVtD3kN9J6lRO7S-4S1zKI9m8WjvXpjaPGAtyGUdiB-rzKxXHkoGvSVFMild9IGJw8xQgrQkL40/s320/romusha.jpg

1. Akibat Pendudukan Jepang di Indonesia
Pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.

a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa dengan Ku, kecamatan dengan So, kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.

Jepang juga membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatra berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang. Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).

Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat propaganda, seperti Gerakan Tiga A dan Putera, tetapi gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk pergerakan nasional. Tujuan utama pemerintah Jepang adalah menghapuskan pengaruh Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943. Kebijakan politik Jepang yang sangat keras itu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan cita-cita mereka, yaitu Indonesia merdeka.

b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.

Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.

Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang jumlahnya semakin meningkat. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.

Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.

Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.

Sementara itu, proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia, seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta, yang bernama Keimun Bunka Shidosho.

c. Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.

Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.

Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinasasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemuda-pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.

Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan Seinendan dan Keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam Seinendan mereka dijadikan barisan pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.

d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.

Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar keresidenan, namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu gubernur, maka Syu adalah pemerintah otonomi di bawah shucokan yang berkedudukan sama dengan gubernur. Pada masa pendudukan Jepang juga dibentuk Chou Sangi- in yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Volksraad. Dalam Volksraad masih dapat dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara Chou Sangi In tidak dapat melakukan hal itu.

Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang yaitu rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Janji Kemerdekaan
 Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasilmerebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hideki Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Kuniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu yang di Morotai pun mulai mengadakan pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu.

Sementara itu, Jenderal Kuniaki Kaiso memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa semakin dekat.

Selanjutnya, Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan itu dibentuk untuk menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik, dan tatanan pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu diketuai oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P Suroso sebagai wakil ketua merangkap kepala Tata Usaha dan seorang Jepang sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari 60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak punya suara.

Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.

Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno

Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya dasar negara dan landasan filosofi dari suatu negara merdeka. Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan ketat dari tentara Jepang. Sidang saat itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang tertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta saran pada seorang teman, yang mengerti bahasa, sehingga dinamakan dengan Pancasila. Pancasila, sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.

Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI. Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy Adam, penulis buku autobiografi Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan di Ende, Flores (saat ini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.

Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila.

Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir. Sukarno, Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Di dalam teks Piagam Jakarta itu juga dimuat lima asas yang diharapkan akan menjadi dasar dan landasan filosofi bagi Indonesia Merdeka.


PIAGAM JAKARTA
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.      (menurut) dasar kemanusian yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/ perwakilan
5.      (serta dengan mewujudkan suatu ) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
BPUPKI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945. Badan itu beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa, tiga orang wakil dari Sumatra, dan dua orang dari Sulawesi dan masing-masing satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan penduduk Cina, ditambah enam orang tanpa izin dari pihak Jepang. Panitia inilah yang kemudian mengesahkan Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.

KESIMPULAN
1.      Kedatangan Jepang yang dianggap sebagai Saudara Tua pada mulanya disambut dengan penuh harapan. Namun, perlakuan yang kejam terhadap rakyat Indonesia menimbulkan kebencian rakyat Indonesia pada Jepang.
2.      Dampak pendudukan Jepang di Indonesia menjadikan rakyat semakin sengsara, serta kehidupan yang semakin sulit. Semua gerak dikontrol oleh pemerintah Jepang. Selama itu pula, Jepang menerapkan kebijakan ekonomi berdasarkan azas ekonomi perang, yaitu menerapkan berbagai peraturan, pembatasan, dan penguasaan produksi oleh negara untuk kemenangan perang.
3.      Mobilisasi massa menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, bahkan korban jiwa, yaitu romusa yang kemudian oleh pemerintah Jepang disebut sebagai prajurit pekerja.
4.      Pada masa pendudukan Jepang, pembentukan organisasi massa dilakukan atas mobilisasi pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian pergerakan terus dilakukan oleh kaum nasionalis baik secara terang-terangan maupun di bawah tanah.
5.      Program militer pertama Jepang adalah Heiho, yaitu perekrutan serdadu pembantu lapangan, yang melibatkan pemuda-pemuda Indonesia dalam kegiatan militer. Keikutsertaan dalam pendidikan militer itu yang kemudian menjadi bekal pemuda-pemuda Indonesia dalam perang revolusi kemerdekaan.
6.      Dasar negara dibentuk melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar