SEJARAH MASJID KUNO GUNUNG PUJUT
Masjid Kuno Gunung Pujut Dengan Arsitektur Tradisional Sasak
Didirikan Pada Tahun 1587 M atau 1008 H Oleh Meraje Olem Dibantu Para Wali
Songo
Pujut adalah nama
salah satu kecamatan di bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB,
walaupun memiliki alam yang kering namun kecamatan pujut memberikan harta
kekayaan yang memberikan kontribusi besar bagi kabupaten ini. Harta kekayaan
tersebut antaranya andalah Bandara International Lombok (BIL), Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Mandalika Resort dan Pelabuhan Ikan International Awang. Selain
kekayaan tersebut Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat
eksotis seperti upacara adat Bau Nyale (legenda Mandalika Nyale), kampung
tradisional Sade, Makam Wali Yatok dan Masjid Kuno Pujut & Rembitan yang
menjadi bukti sejarah bahwa di tanah Pujut ini dulu berkembang ajaran islam
yang mengajarkan ilmu-ilmu makrifat. Ilmu makrifat oleh para waliyullah
diajarkan dalam bentuk Paosan yaitu mempelajari ajaran makrifat dalam
tembang-tembang mancapat yang tertulis pada kitab daun lontar.
Beberaoa kitab-kitan
ajaran makrifat yang diajarkan oleh para waliyullah antaranya adalah Jatisware,
Brambang Wulung, Langit Gite, Wirid Widayat Jati, Jimat Kalimosodo, Indarjaya,
dll. Penyampaian ajaran makrifat ini dalam bentuk tembang baik
menggunakan tembang Sinom, Maskumambang, Dandang Gendis, Pangkur, dan
Durme. Budaya Paosan ini sampai sekarang tetap dilestarikan oleh
paguyuban-paguyuban Paosan seperti, Pembasak Kabupaten Lombok Tengah,
Paguyuban Pangeran Sangupati Desa Batujai, Paguyuban Kise Jati Desa Gapura,
Paguyuban Puji Bakti Desa Sengkol, dll.
Mengenai Masjid Kuno
Gunung Pujut, tidak banyak buku-buku sejarah yang menulisnya termasuk kurangnya
tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah Gunung Pujut itu sendiri. Dari
narasumber beberapa tokoh Pujut penulis mencoba menggali kembali sejarah Gunung
Pujut termasuk Masjid Kuno Gunung Pujut dan menuliskannya agar dapat memperkaya
khasanah kita akan peninggalan sejarah Pujut.
Sejarah Pujut
Pujut merupakan
wilayah kedatuan (kerajaan kecil) yang diperkirakan berdiri pada tahun caka
1255 atau 1355 M, perkiraan tahun berdirinya kedatuan pujut ini diambil dari
sumber lontar yang berbahasa sasak berbunyi “Kengkang Pelapak Gedang
Lembah Gunung Pujut dait Gunung Tengak dait Pelembah Polak Due”.
Kengkang melambangkan angka 1, Pelepak Gedang Polak melambangkan angka 2,
Gunung Pujut melambangkan angka 5 dan Gunung Tengak melambangkan angka 5,
sehingga jika angka ini digabungkan akan membentuk angka caka 1255.
Kedatuan pujut
didirikan oleh seorang bangsawan Majapahit yang bernamaAme Mas Meraje Mulie dan
menikah dengan puteri kerajaan Kelungkung Bali. Setelah melangsungkan
pernikahan oleh mertuanya Ame Mas Meraje Mulie disuruh oleh
mertuanya untuk bersemedi di sebuah pulai ditimur Bali, pulau itu sekarang di
sebut Nusa Penide (Penida berasal dari kata Penede artinya tempat memohon
kepada Tuhan YME). Dalam semedinya beliau mendapat wangsit untuk berlayar
ketimur dan apabila dalam pelayaran tersebut melihat cahaya di daratan maka
disanalah tempat tinggalnya. Berdasarkan wangsit tersebut akhirnya bersama
istri dan pengiringnya melakukan peleyaran ke arah timur dan akhirnya menemukan
tanah petunjuk tersebut yaitu disebuah Bukit didataran bagian selatan Lombok
yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pujut.
Ame Mas Meraje Mulie
menganut paham Shiwa-Budha yang menjadi agama resmi di Majapahit, dengan
demikian maka setibanya di Gunung Pujut ia mendirikan tempat pemujaan
Shiwa-Budha yaitu Diwe Dapur, Diwe Pujut, Diwe Peringge dan Diwe Jomang dan
membuat kampung bernama Tuban untuk mengenang asalnya dari Kadipaten Tuban
Wilayah Kerajaan Majapahit. Kalau memang betul Ame Mas Meraje Mulie berasal
dari Kadipaten Tuban maka dapat dipastikan bahwa ia masih merupakan keturunan
Raja Daha Kediri dari garis keturunan Airlangga pendiri kerajaan Kediri.
Dari hasil
pernikahannya dengan Puteri Kelungkung Ame Mas Meraje Mulie memiliki satu orang
putra yaittu Ame Mas Mayang. Ame Mas Mayang memiliki empat orang
putra/putri yaitu Sri Meraje Tinauran, Meraje Gune, Meraje Pati dan
Meraje Tinolo. Meraje Gune memiliki seorang putra yaitu Meraje
Galungan dan Meraje Pati memiliki seorang putra bernama Meraje
Olem. Meraje Olem inilah yang menjadi Datu Pujut yang ke empat. Meraje Olem
memiliki dua orang putra/puteri yaitu Sri Mas Jaye Diguna atau
biasa disebut Balok Gare dan Sri Mas Jaye Wire Sentane atau
biasa disebut Balok Pait.
Berdirinya Masjid
Gunung Pujut
Pada masa
pemerintahan Meraje Olem agama Islam sudah berkembang dengan pesat di seluruh
Nusantara termasuk pulau Lombok yang dibawa oleh para Waliyullah dari tanah
Jawa atau biasa dikenal dengan nama Wali Songo. Meraje Olem suatu ketika
berangkat ke tanah Jawa untuk mengunjungi tanah leluhurnya dan disana Meraje
Olem sangat tertarik dengan agama Islam sehingga ia memeluk agama Islam dan
belajar kepada Wali Songo. Setelah mempelajari Islam Meraje Olem kembali ke
Pujut dan mengajarkan ajaran Islam kepada rakyatnya. Dibantu oleh Wali Yatok ia
menyebarkan agama Islam tidak saja kepada masyarakat Pujut tetapi juga kepada
kedatuan-kedatuan disekitarnya.
Sebagai tempat
ibadah maka pada tahun caka 1509 atau 1587 M atau 1008 H Meraje Olem mendirikan
Masjid di puncak Gunung Pujut (pada ketinggian 400 mdpl). Masjid Gunung Pujut
sendiri memiliki desain arsitektur yang unik dan dapat ditandai dari bentuk
atap 2 cungkup seperti masjid demak, bangunan masjid tidak memiliki jendela
dengan satu pintu kayu didepan dan berdinding sangat pendek yaitu 1,5 meter
sehingga untuk memasuki masjid maka harus menundukkan kepala. Bentuk arsitektur
yang seperti ini barangkali memiliki makna-makna makrifat yang perlu untuk
dikaji lebih dalam. Masjid Gunung Pujut memiliki ukuran 9 x 9 meter dengan
empat buah tinga besar (agung) didalamnya yang menyokong kuncup atap atas.
Makam Meraje Olem
atau Biasa Disebut Makam Sempane
Tahun meninggalnya
meraje olem tidak banyak diketahui oleh masyarakat, tetapi setelah meninggal
Meraje Olem dimakamkan di sebelah utara Gunung Pujut yang biasa disebut sebagai
Makam Sempane. Untuk menandakan bahwa Meraje Olem telah memeluk agama Islam
maka diatas makamnya ditanami oleh 9 buah pohon Kamboja yang sampai sekarang
masih tumbuh dengan baik.
Masih banyak sejarah
yang dapat digali terkait dengan Masjid Kuno Gunung Pujut antaranya adalah
makna/simbol makrifat dalam arsitektur Masjid, kitab-kitab makrifat dalam
bentuk daun Lontar, dan peran tokoh-tokoh Pujut dalam penyebaran ajaran Islam
seperti Balok Gare, Balok Tui, Balok Senggal Jepun, Balok Serte, Balok
Suralangu, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar